Ada kalanya aku berharap agar mimpi
yang kulalui terasa lebih panjang. Karena hanya itu kesempatanku untuk dapat
bertemu lagi denganmu
Ibu
Aku membuka
mataku dan mengerjapkannya beberapa kali. Dengan malas kududukan diriku di tepian
tempat tidur. Masih dalam kondisi setengah sadar aku mengendus, mencium aroma
sedap masakan yang tertangkap oleh indraku. Lalu dengan semangat kulangkahkan
kakiku menuju ke arah dapur.
"Hemm,
baunya enak. Masak apa bu sekarang?"
Aku
memeluknya dari belakang, seorang wanita paruh baya yang tengah sibuk dengan
aktifitas memasaknya.
"Masak
apa ya? Sini, kalau mau ngicipin bilang aja. Nggak usah ngode dulu kayak
gitu"
Seperti
biasa, kalimat yang terlontar dari mulutnya sangat sederhana. Namun terasa
begitu hangat untukku.
"Tau
aja hehe. Hemm, sop bikinan ibu emang paling enak!"
Aku benar
benar menyicipinya. itu sudah menjadi rutinitasku tiap hari, merecoki ibu
memasak.
"Jadi
cuma suka sop aja nih? yaudah tiap hari ibu masakin sop ya"
What?! Aku membelalakkan mataku dan meralat
ucapanku dengan cepat.
"Ehh,
jangan jangan! Aku suka semuanya. Semua masakan ibu pasti habis kumakan. Asal
jangan ada pete sama jengkolnya aja"
Aku sedang
tidak bercanda. Sungguh. Aku menyukai semua masakan yang ia buat. Walau
terkadang aku merengek minta makan di luar sekedar 'cari suasana baru'. Tapi itu
tidak bisa mengubah makanan favoritku. Ya, masakan ibu.
"Dulu
aja kamu pernah minta ibu masakin pete sama jengkol. Sekarang gaya, udah nggak
mau makan pete sama jengkol lagi"
Aku merengut
mendengarnya. Ya, kuakui aku pernah memakannya. Jangan meledekku. Aku cuma
penasaran karena tetanggaku pernah bilang kalau sambel pete sama semur jengkol
itu enak. Lalu dengan bodohnya aku minta ibu memasakkannya untukku. Akhirnya?
sambel pete sama semur jengkol terbuang sia-sia karna tidak kumakan. Ralat, aku
memakannya. Tapi cuma sesuap, dan aku merasa menyesal. Kutegaskan sekali lagi, me-nye-sal.
Bukan karena sempat memakannnya, tapi karena menyianyiakan masakan yang sudah
ibu buat untukku.
"Itu kan
udah lama banget bu. Masih diinget aja"
Kueratkan
pelukanku padanya. Jangan tanya kenapa aku melakukannya. Entah, hanya saja aku
merasa ia akan pergi lagi dariku setelah ini.
"Ini kenapa
lagi coba? Udah sana kedepan aja. Ganggu ibu masak ini. Kalau di peluk terus
gimana masaknya?"
Mendengarnya
mengatakan itu aku malah semakin mengeratkan pelukanku padanya.
"Enggak
ah. Nanti ibu pergi lagi"
Aku menggeleng
di pundaknya. Ucapanku terdengar ringan seperti sebuah candaan padanya. Ibu
hanya terdiam lalu tersenyum ke arahku. Menghentikan aktifitasnya sejenak dan
mengelus puncak kepalaku. Aku membalasnya dengan senyuman.
Tes
Dan tiba
tiba aku menangis.
---
Aku
terbangun dengan peluh yang menempel di sekujur tubuhku.
Tes
"Cuma
mimpi"
Tangisanku pecah.
Membelah kesunyian yang tercipta di dalam kamar. Aku meringkuk di atas tempat
tidur, dengan susah payah kuseka air mataku.
"Ibu
sudah pergi, tapi tidak meninggalkan kita"
Kalimat itu
yang berkali kali ku tanamkan untukku juga adikku. Kalimat yang aku sendiri terkadang
merasa susah untuk menerimanya. Bukannya aku tidak ikhlas. Aku sudah
mengikhlaskannya, sungguh. Hanya saja aku merasa, belum cukup banyak waktu yang
kuhabiskan bersamanya.
Aku melihat
jam yang berada di atas almari. Lalu kulangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk
mengambil air wudhu. Aku ketiduran, belum Sholat Isya.
Selepas menunaikan
sholat aku kembali menangis. Biar saja, yang kubutuhkan hanya menangis
sekarang. Tapi tiba tiba terdengar suara anak perempuan yang sangat kukenali
dari arah belakangku.
"Mbak,
mimpi ibu lagi ya?"
Aku hanya
diam. Tanpa kujawab ia sudah tau. Ya, aku memang sering mimpi bertemu dengannya.
---
Suatu hari
aku pernah bertanya pada salah seorang temanku. Hanya iseng sebetulnya karena
bahan obrolan sudah habis. Entah, hanya saja pertanyaan ini melintas begitu
saja di otakku.
"Prim,
kalau misalnya.. ini misalnya lo tapi.. Ibu kamu udah nggak ada, terus kamu
mimpiin dia. Kamu seneng nggak bisa ketemu ibumu di dalem mimpi?"
Temanku yang
awalnya santai mendadak tegang dan bengong menatap ke arahku.
"E-eh
aku cuma mau tanya kok. Penasaran aja. Soalnya- "
"Seneng"
Aku diam. Tidak
langsung membalas ucapannya. Membiarkan temanku melanjutkan kalimatnya.
"Aku
mungkin seneng kalo bisa ketemu ibuku di dalem mimpi"
hening
"Kalo aku
enggak"
Wanita yang
ada di depanku menatapku bingung.
"Aku..
sebetulnya seneng bisa mimpi ibu prim. Tapi setiap bangun, aku sadar kalau ibu
udah nggak ada. Kalau ibuku udah meninggal. dan ternyata rasanya.. lebih sakit daripada
waktu aku nggak mimpi apa apa"
Air mata itu
kembali menetes, jatuh bebas mengenai kerudung yang kukenakan.
"Kamu
jangan bilang kayak gitu. Ibu kamu udah ada di tempat yang lebih baik sekarang.
Jangan berlarut larut sedihnya. Ayo, kamu kuat. Kamu pasti bisa"
Kalimat itu
sudah sering kudengar. Aku juga tau. Tapi kadang perasaanku lebih dominan
daripada logikaku. Aku merasa sedih, hanya sedih dan tidak bisa membohongi
perasaan sendiri. Aku memang tidak menangis di setiap tempat. Aku juga tidak akan
menangis di depan setiap orang yang kutemui. Cukup aku, keluargaku, juga orang
terdekatku yang tau. Tapi topik mengenai ibuku selalu bisa membuatku hanyut. Terlalu
sensitif bagiku untuk dibahas. Hingga kadang membuat pertahanan yang
kubangun runtuh dengan sendirinya, dan membuat tangisku kembali pecah.
Aku tidak
suka dianggap lemah, aku juga tidak suka diperlakukan seperti orang lemah. Cukup
perhatian saja, dan aku akan mencoba bangkit di atas kakiku sendiri.
---
Beberapa
bulan kemudian
"Mbak, hari
ini masak ya. Ini uang belanjaannya"
Ucap abah sembari
memberikan uang belanjaan. Jangan bingung dulu, abah berarti ayah. Aku sudah
terbiasa memanggil beliau dengan sebutan abah sejak aku kecil.
Kalian pasti
tidak akan menyangka kalau aku dan adikku sudah mencoba berkali kali memanggil
abah dengan sebutan lain dulu. Banyak penyebabya. Seperti saat aku duduk di
bangku sekolah dasar. Bisa bisanya temanku bertanya abah itu apa, dikira barang
mungkin. Akhirnya setiap kali ngobrol aku mengganti kata 'abah' menjadi 'ayah'.
Ada lagi penyebabnya, aku sedang suka nonton sinetron bersama adikku saat itu.
Si tokoh utama memanggil ayahnya 'papi'. Dua anak polos korban sinetron ini ikut
ikutan jadinya. Tapi panggilan itu tidak bertahan sampai sehari. Karena aku dan
adikku mendadak geli sendiri mendengarnya.
"Iya bah.
Nanti biar mas aja yang belanja. Aku males keluar hihihi"
Aku meringis
mendapat pelototan dari kakakku. Ya, seperti inilah hidupku sekarang, "life
must go on". Yang hidup harus tetap hidup dan memperjuangkan hidupnya.
Seperti kata terakhir dari almarhumah ibuku
"Kita
hidup untuk berjuang. Abah, Ibu, kamu, mas, sama adik harus bisa saling
menguatkan. Kita sama sama berjuang buat dapet ridho dari Allah."
---
Dulu saat
ditanya kamu suka ngelakuin apa, mungkin aku akan menjawab 'tidur'. Karena saat tidur aku bisa bermimpi. Kalau mimpi, aku bisa bertemu dengan ibu. Tapi
sekarang sudah tidak lagi. Kalau ada yang bertanya hal yang sama, aku akan menjawab
'masak'. Karena aku ingin siap siap untuk jadi istri sholihah hahaha
Karena aku ingin berjuang, sama
seperti almarhumah ibu
END