Bintang Paling Terang ~1



Rabu, 25 Februari 2013 

Cahaya mentari pagi menyusup dari balik tirai kamarku. Silaunya mulai menerpa pipiku yang saat itu sedang tertidur pulas. Perlahan-lahan aku mulai terbangun. Namun beberapa saat kemudian  kuhempaskan lagi diriku ke tempat tidur. Aku lelah.. itu yang setidaknya kurasakan setelah semalaman menangis.
Aku terdiam, sesekali kukerjapkan mataku. Rasanya sulit sekali untuk membukanya. Aku mulai meninggalkan tempat tidurku untuk bercermin. Jelas saja.. mataku bengkak, batinku. Mataku kembali berair, bukan karena masih tersisa rasa perihnya. Akan tetapi karena aku kembali mengingat alasan kenapa aku menangis.


Tangisku kembali pecah, sampai aku mendengar ponselku berdering. Disana tertera nama seseorang yang aku kenal, bahkan dekat denganku. Aku berusaha menahan diriku untuk tidak menangis lagi. Perlahan, mulai kuusap air mataku. Hingga aku bisa menguasai diri dan sanggup untuk mengangkat telfonnya.


“Iya ras?” tanyaku singkat dengan suara bergetar.


“Lin, kamu kemana aja sih? Kita daritadi udah nungguin kamu disini!” jawab seseorang yang berkata dari sebrang.


“Aku masih dirumah ras” jawabku dengan mata yang mulai berkunang-kunang.


“Ya ampun Lina.. pokoknya kamu harus cepetan kesini! jenazah Andi udah mau disemayamin sekarang!”


“Ras, a-aku nggak bisa kesana. Aku takut nggak bisa ngelepasin dia ras. Aku nggak mau..“, Aku tak sanggup membendung air mata, tangisku mulai pecah lagi.


~


Minggu, 22 Februari 2013


“Lin, sini sebentar aku mau kasih lihat sesuatu ni!”


“Apaan Di? Penting nggak? Jangan-jangan cuma mau pamer hasil jepretan lagi.”


“Kok tau sih? Gampang ditebak ya? Haha”


“Masak iya aku nggak hafal sifatmu. Kita temenan udah dari kecil kali. Emang ya, nggak ada bosen-bosennya kamu ambil gambar yang nggak penting, itu kan cuma daun kering. Apa bagusnya coba?”


“Yah, nggak ngerti ni orang! Itu namanya seni Lin, senii.. Pernah nggak sih kamu bayangin kalo semua yang ada di bumi itu ada sisi uniknya walaupun kebanyakan orang mikir kalo hal itu nggak penting?”


“Hmm, nggak ngerti juga sih. Udah ah.. gitu aja dipikirin. Makan yukk!”


“Tu kan kebiasaan! Mengalihkan pembicaraan. Udah tau lagi diajak serius. Yaudahlah, aku juga udah laper kok. Tancapp !!”


Andi Yuda Pratama, atau Andi biasa aku memanggilnya adalah teman masa kecilku. Setidaknya seperti itulah anggapanku tentangnya. Tapi bahkan jika dibilang teman masa kecil, kami masih sering bermain bersama hingga sekarang. Mungkin lebih tepat kusebut dia sebagai teman sebaya, karena umurnya yang sama denganku yaitu 18 tahun. Bagiku, Andi adalah orang yang cukup menyenangkan, humoris, sedikit kekanakan tetapi kadang juga bisa menjadi orang yang dewasa dan selalu ada untukku kapanpun aku membutuhkannya.


Dilihat dari penampilannya, Andimemiliki proporsi badan yang pas untuk ukuran laki-laki seumurannya. Postur tubuhnya tinggi dan tegap. Kulitnya berwarna sawo matang. Wajahnya terlihat tampan dengan hidung yang mancung serta mata yang teduh tapi memiliki alis mata yang tegas. Benar-benar tipe ideal setiap anak perempuan sebayanya.


Andi sangat menyukai dunia fotografi. Entah dari sisi mana dia menyukainya. Bagiku hobinya itu hanya seperti keisengan semata. Tapi belakangan ini kusadari bahwa hobinya itu semakin menjadi-jadi. Objek apapun yang ia temukan jika ia merasa tertarik, ia akan langsung mengambil gambarnya.


“Di, kamu nggak suka ikannya kan? Kalo gitu buat aku aja ya”, Pintaku pada Andi.


“Enak aja, kalo aku nggak suka ngapain juga pesen? Bilang aja kamu mau nambah. Dasar gembul! Kebanyakan makan, gendut tau rasa!” , jawabnya jengkel.


“Biarin aja. Yang penting kan tetep cantik”, ucapku dengan percaya diri.


“Sini mana lihat yang katanya cantik!”, tiba-tiba ia berkata “CISSSS..” dibarengi dengan bunyi kamera “KLIK”


“AAA!! Apaan sih Di! Orang lagi asyik makan malah difoto. Kan jelek!” aku mulai kesal dengan tingkahnya.


“Haha, tadi katanya tetep cantik?” godanya sembari tertawa.


“Tau ah!” jawabku pasrah.

Aku memang selalu seperti itu, kalah saat berdebat dengannya. Tapi aku tidak marah, hanya kadang merasa kesal. Sejujurnya ada rasa bahagia saat aku sedang bersenda gurau dengannya. Seperti ada hal lain yang kurasakan tentangnya.


~


Senin, 23 Februari 2013


Hari ini seperti biasanya mentari menyinari Kota Jakarta dengan cerahnya. Hari pertama liburan semester baru akan dimulai. Aku memiliki janji untuk bertemu dengan Andi dan Laras hari ini. kita berencana untuk pergi ke planetarium. Keputusan itu diambilsetelah aku berhasil memaksa mereka untuk menuruti keinginanku. Ya, aku sangat menyukai hal yang berhubungan dengan bintang. Entah apa yang membuatku begitu menyukainya, hanya saja semua itu terasa begitu indah saat aku melihatnya.


“Ras, sini deh! Itu namanya rasi bintang lyra. Keren kan?” ucapku begitu antusias.


“Iya iya, percaya yang suka banget sama bintang.” sahut Andi yang bahkan tidak diajak bicara.


“Kalian bisa nggak sih sehari aja nggak ribut? Berisik tau.” protes Laras.


“Kayaknya nggak bakal bisa Ras. Habis kalo lihat Lina, pasti ada aja bahan buat ganggu dia haha.” ucap Andi enteng.


Entah aku yang tidak peduli atau karena keasyikan melihat bintang, aku tidak menghiraukan kata-kata terakhirnya. Aku hanya diam sembari tersenyum kecil mengacuhkannya. Lalu tiba-tiba  “KLIK”, terdengar bunyi kamera.


“Andi!! Kurang kerjaan banget sih kamu! Pergi sana!” aku mulai kesal dan mendorong-dorongnya.


“Haha gitu aja marah. Habis mukamu lucu banget sih tadi”


“Hapus sekarang Di!” pintaku padanya.


“Iya iya, udah aku hapus kok. Tenang tenang..” jawabnya melegakanku.
Hari ini begitu menyenangkan hingga aku tidak dapat menggambarkannya dengan kata-kata. Walaupun disisipi dengan rasa kesalku pada Andi yang tidak pernah bosan mengangguku. Waktu berlalu begitu cepatnya, tanpa aku tau bahwa besok adalah hari terakhir aku dapat melihat Andi di dunia.



bersambung


Komentar

Postingan Populer