Bintang Paling Terang ~3




Rabu, 25 Februari 2013


Kuputuskan untuk hadir ke pemakaman Andi setelah aku berhasil mengumpulkan segenap keberanianku. Pagi tadi, Laras sudah berhasil memaksaku untuk tidak menyesali tindakan bodoh yang ingin kulakukan. Aku harus memberikan penghormatan terakhir baginya. Laki-laki paling berarti setelah ayahku yang ada di dunia. Walaupun kini ia telah lebih dulu pergi meninggalkanku dan Laras sendirian.


Pulang dari pemakaman, kedua orang tua Andi mengajakku untuk mampir kerumahnya. Mereka berkata ada hal yang ingin mereka tunjukkan padaku. Ternyata apa yang ingin mereka tunjukkan adalah kamar Andi. Betapa terkejutnya aku melihat kamar miliknya. Penuh dengan hasil jepretan. Foto yang dulunya kuanggap tidak penting itu berjajar menghiasi kamar miliknya. Aku tidak paham, tapi tiba-tiba saja aku tersenyum melihatnya. Tatapanku berhenti pada satu foto yang dicetak sedikit lebih besar dari yang lain. Foto seorang gadis yang sedang tersenyum menatap bintang. Tiba-tiba air mataku menetes. Itu fotoku saat berada di planetarium. Aku tertawa kecil dalam tangisku “Bodohnya aku mengira bahwa kau benar-benar menghapusnya.” Ucapku lirih pada diri sendiri. Disebelah foto itu terdapat space yang berisikan tulisan. Aku membacanya dalam hati “Bintang Paling Terang”. Aku benar-benar tak kuasa membendungnya lagi. Tangisku mulai pecah. Andai Andi masih ada, ingin rasanya kukatakan padanya “Terimakasih karena telah menganggapku sebagai bintang yang paling terang di hidupmu.” Tapi semua itu sudah terlambat. Jika saja lebih cepat bagiku menyadarinya. Mungkin sekarang aku tidak akan merasa menyesal.


Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar Andi. Disana aku melihat ibu Andi sedang berdiri sembari mendekap sebuah album foto berwarna biru. Aku berjalan mendekatinya. Perlahan ibu Andi mengulurkan tangannya untuk menyerahkan album itu kepadaku.


“Lin, sebetulnya Andi sudah suka kamu sejak lama. Tapi dia tidak berani bilang karena takut kamu akan menghindarinya.” Ucap Ibu Andi dengan suara lirih.


Kuulurkan tanganku untuk menerima album itu. Lalu kubuka lembar demi lembarnya. Mataku terbelalak dan tanganku serasa bergetar. Semua berisi fotoku. Album itu seakan memang ia persiapkan untuk diberikan padaku. Aku terdiam, namun kucoba untuk mulai berbicara.


“Tante.. Lina minta maaf karena baru sadar perasaan Andi sekarang.” Kutundukkan kepalaku untuk menyembunyikan air mataku. Namun air mata itu justru tidak sengaja menetesi album milik Andi. Kuusap album tersebut dengan panik. Tapi air mataku tetap berlinang seakan tak ingin berhenti.


“Lin, tenang” ucap ibu Andi berusaha menenangkan.


“Maaf tante, Lina nggak sengaja..” jawabku yang masih menangis dengan rasa panik.
Selanjutnya tangan ibu Andi sudah menempel di pundakku dan kulihat ia menyunggingkan senyum kepadaku. Kami bercerita tentang banyak hal. Semua kenangan tentang Andi saat ia masih berada di dunia.


 Setelah lama bercerita aku ijin pamit untuk kembali kerumah. Hari sudah malam. Aku berdiri di dekat jendela kamar. Lalu kudongakkan kepalaku untuk menatap langit malam. Malam ini langit begitu cerah. Dapat kulihat dengan jelas langit yang dipenuhi oleh taburan bintang. Pikiranku kembali melayang mengingat tentang Andi yang kini menghilang. Dalam hati aku berkata “Andai kamu tau Di. Bagiku, kamu juga merupakan bintang  paling terang. Melebihi bintang-bintang yang bertaburan di langit malam.”




TAMAT



0 komentar