Kita berbeda,
sangat bertolak belakang. Aku kutub utara, dia kutub selatan. Tapi itulah hukum
alam, bahwa kutub utara dan kutub selatan
akan saling tarik menarik bila
berdekatan.
"Lemah. Aku nggak suka sama cewek lemah!"
Deg
Cuma dia, satu satunya orang yang dengan blak blakannya
berani mengkritikku tepat di depan wajahku. Saat kebanyakan orang mati-matian
berusaha menjaga sikapnya di depanku, cuma dia yang dengan santainya mampu mengucapkan kata-kata tajam di telingaku.
Aku mengenalnya semenjak duduk di bangku kelas sepuluh SMA. Sebut
saja 'Tina'. Wanita dengan kepribadian ajaib yang tak begitu kuperhatikan awalnya
hingga aku naik ke kelas sebelas.
Dia memiliki postur tubuh tinggi untuk ukuran anak perempuan
sebayaku. Berkulit sawo matang khas orang Indonesia pada umumnya. Wajahnya
kecil dengan pipi yang tirus. Dagunya sedikit runcing, kalau bisa kugambarkan
wajahnya dengan sederhana mungkin aku akan membuat gambar segitiga terbalik. Ya, penggambaran seperti itu kurasa cukup untuknya,
mungkin.
Aku orang yang cenderung sensitif, perasa, dan perfeksionis.
Kata sebagian besar orang pembawaanku terkesan kalem. Sedangkan dia sangat kaku,
cuek, dan easy going. Pembawaannya terkesan sedikit judes di mataku.
Dan dua pribadi berbeda yang saling bertolak belakang ini, dengan ajaibnya terpaksa
duduk dalam satu bangku yang sama di dalam satu kelas dan dalam jangka waktu
satu tahun.
Hanya perlu satu kalimat untuk menggambarkannya, "Kalau
bukan perang dunia pertama, pasti akan terjadi perang dunia kedua."
---
"Untuk presentasi kali ini ibu akan membagi kalian
dalam 8 kelompok. Satu kelompok berisikan 4 orang. Biar mudah membaginya, kelompok
beranggotakan anak yang duduk dengan meja depan belakang. Baik, silahkan saling
berhadapan untuk memulai rembukannya."
Sudah kuduga akan seperti ini endingnya. Tidak tau
kenapa akhir-akhir ini para guru jadi suka malas mengatur kelompok dalam kelas.
Kalau depan belakang gini terus, selamanya saja aku sekelompok dengannya.
"Ini nggak bisa protes ya? Aku bosen sekelompok sama dia
terus."
See?!
Kubilang juga apa. Tidak hanya aku yang ingin protes.
Makhluk ajaib yang duduk di sebelahku ini juga. Dan aku seratus persen mendukung
keinginannya. Walaupun dengan menahan sedikit nyeri karena dia secara
terang-terangan menolakku.
"Huss, kasian mbak Nurul itu lho. Udah nggak usah protes."
hening
"Kan, gitu aja terus pada mikirin mbak Nurul. Aku emang
nggak keliatan kok disini."
Bagus, untuk kesekian kalinya kalimat itu terlontar dari
mulutnya. Aku kadang bingung sendiri, apa sih alasan dia bertingkah sadis gini
di depanku? Perasaan aku juga nggak pernah dengan sengaja nyoba mancing
emosinya deh. Mataku mulai memanas. Oke, sisi sensitifku mulai keluar lagi
sekarang.
"Udah ah haha, kerjain aja yuk!"
Ucapku sembari tertawa sumbang. Nggak bakal aku biarin sisi
cengengku keluar sekarang. Waktunya nggak pas. Nggak banget kan kalau aku sampe
nangis di tengah jam pelajaran. Terlebih si makhluk ajaib ini akan ngerasa
semakin menang kalau aku sampe ketahuan nahan nangis.
Waktu berjalan begitu lambat. Suara bel istirahat yang aku
tunggu daritadi nggak kunjung berbunyi. Dan ini adalah siksaan paling berat menurutku,
karena harus duduk tenang dan saling melempar tatapan dingin selama jam
pelajaran berlangsung.
"Nanti bagian akhir serahin ke aku aja. Aku yang desain
presentasinya." Ucapku mencoba memecah keheningan.
"Nggak. Nanti lama!"
JEDERR!!
Untung aku nggak kesamber petir beneran. Tapi sayangnya hatiku
yang kesamber. Nyesek. Fine, cukup tau aja.
"Kenapa sih tin? Aku mau cari materi salah. Aku mau
bantu desain juga salah. Terus maunya gimana?!"
Oke, aku mulai kebawa emosi sekarang. Alisku saling bertaut,
nggak bagus banget kalau dilihatin. Hufft, kubuang nafasku secara kasar.
Aku bersyukur memiliki pengendalian diri yang cukup baik. Setidaknya aku tau
apa itu namanya 'sabar'.
Teman satu kelompokku lainnya tidak ada yang berani merespon.
Mereka tau kalau aku sedang berperang betulan dengan makhluk aneh ini. Aku baru
akan kembali bersuara saat mendengar argumennya.
"Kamu kalau desain lama! Repot! Pake dibagus-bagusin
segala!"
See?!
Argumennya terdengar sangat tidak masuk akal di telingaku.
Aku cuma pengen kelompokku jadi yang 'terbaik'. Salah? Aku suka desain dan aku
tau seni, nggak kayak dia. Hello kitty di masukin ke slide? Please,
ini SMA bukan TK. Pernah kusinggung masalah ini ke dia. Terus dia malah jawab
kalau desainku monoton. Bukan monoton menurutku tapi 'rapi'. Aku suka rapi. Dan
bukan kaku tapi 'elegan'. Oke, sekarang sisi perfeksionisku yang keluar.
"Emangnya kenapa kalau dibagus-bagusin? Temen - temen
juga suka. Nggak ada yang protes kayak kamu."
Kalau ada yang tanya ini sisiku yang mana, akan kujawab dengan
lantang kalau sisi keras kepalaku sedang keluar sekarang. Mungkin ini yang
bikin aku suka berorganisasi. Karena aku suka berdebat. Dan berdebat dengannya
adalah yang paling hebat. Aku tidak tau alasannya, tapi aku selalu menjadi
diriku sendiri saat di depannya. Sebelumnya aku sempat bilang tentang kemampuan
pengendalian diriku yang cukup baik kan? Nah, kalau di depannya mungkin 'sedikit'
tidak mempan.
"Kamu udah tanya ke mereka tentang desainnya? Udah
ditanya satu-satu? Mereka bilang suka nggak?"
Deg
Kutatap satu persatu wajah teman satu kelompokku. Mereka hanya
diam. Aku berdeham kecil, berharap ketegangan ini segera mereda. Kuakui kali
ini dia benar. Aku tidak pernah bertanya pada mereka. Aku memilih memutuskan
sendiri karena berpikir bahwa pilihanku itu yang terbaik dan mereka
menyukainya. Aku pikir desainku bagus, rapi, dan elegan. Tapi sekarang aku tau
kalau nggak selamanya yang bagus, rapi, dan elegan itu disukai semua orang.
Hari ini aku
belajar satu hal darinya. Bahwa nggak selamanya orang suka sama sesuatu yang
berbau 'sempurna'. Karena di dunia ini memang nggak ada yang sempurna.
bersambung