Learn Something? - 2

Aku tidak pernah menduganya kalau aku bisa tahan untuk tetap berada disisimu. Kau pun begitu. Waktu yang telah membawa kita untuk sampai ketitik ini.




Bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi, tapi bangku yang ada di sebelahku masih kosong tak berpenghuni. Aku tidak kaget. Sudah biasa karna begitu seringnya dia 'hampir terlambat'.



"Hufft .. Hufft .."



"Habis di kejar Satpol PP ya?"



"Gerbangnya hampir di tutup. Untung aja aku lari. Habis aku lewat, gerbangnya langsung di tutup hahaha." Ceritanya dengan bangga.



Ckck, lagi.



Jangan dikira dia cuma pernah ngelakuin ini sekali. Aku kadang heran sendiri dengan keberuntungannya melewati gerbang sekolah. Seumur-umur aku baru pernah telat sekali saat duduk di kelas sepuluh. Itu pun karna ban motor yang kutumpangi bocor di tengah jalan. 



"Makanya besok jangan telat. Biar nggak perlu lari marathon lagi." Ucapku santai sambil berdiri mempersilahkannya masuk ke meja kami.



"Aku nggak telat ya. Coba lihat sekarang jam berapa? Aku tepat waktu. Kalian aja yang berangkatnya kecepetan." Ucapnya membela diri.



Ya, ya. Dia dan ketepatan waktunya yang tidak biasa.



Aku sudah pernah bilang kan sebelumnya? Selama di kelas sebelas ini aku duduk sebangku dengannya. Aku juga heran sendiri kenapa bisa. Padahal kita lebih sering bertengkar daripada akur. Tapi bukan berarti aku tidak bisa memahaminya. Aku tau beberapa hal yang disukainya. Dan salah satunya adalah, tembok.



"Fiuhh, enak.. dingin." Ucapnya setelah melepas jaket kesayangannya dan menempelkan badannya ke tembok.



Melihat kebiasaannya yang 'tak biasa' ini aku mau tidak mau harus mengalah. Kita berdua jadi lebih sering duduk di barisan paling pojok kiri di kelas. Aku bilang barisan, bukan bangku. Kalau urutan bangku aku lebih suka berada di urutan kedua dari depan. Aku mendapatkan urutanku dan dia mendapatkan temboknya. Kompromi yang terdengar menggelikan sebetulnya.



"Kerudungmu kamu setrika nggak sih?" 



"Nggak sempat hahaha"



Ya, seperti inilah kehidupan kami. Aku sering mengomentari penampilannya, lalu dia? tentu saja tetap cuek. Aku bahkan sampai pernah mengancam akan membawa setrikaku ke sekolah kalau dia masih setia menggunakan kerudung kusut miliknya. 



Aku kadang iri sendiri, andai aku bisa secuek itu. Kalian mungkin kaget kalau tau, tapi kerudungku hampir jarang terlihat kusut. Aku tau ini berlebihan, tapi aku hanya menyukai kerapian. Dan dia jelas membencinya. Sepertinya aku harus belajar darinya supaya terlihat 'sedikit lebih manusiawi' kedepannya.


---


"Tin, ini tulisannya bener nggak?" Bisikku padanya.



"Mana lihat. Salah! Gimana sih?" Ucapnya tak kalah lirih dariku.



Ini masih jam pelajaran. Tapi yang kubahas dengannya sama sekali tidak berhubungan dengan pelajaran. Disaat murid lain sedang tidur, aku lebih memilih belajar menulis huruf jepang dibantu Tina. Well, aku tidak begitu suka dengan mata pelajaran bahasa jawa kalau kalian tau. Bukannya tidak suka tapi 'tidak bisa'. Satu-satunya yang kusukai dalam bahasa jawa hanya materi tembang. Karna aku suka menyanyi jadi aku tidak begitu membencinya, walaupun aksen jawaku tidak terdengar sama sekali saat melakukannya. 



Aku tidak mau menyalahkan keadaan. Ya, aku sudah ditakdirkan menjadi anak campuran Jawa-Sumatra. Tidak heran bahasa jawaku hancur. Tapi jangan tanya bahasa sumatraku, jelas sama hancurnya. Aku lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia. Dan itu cukup membuatku bangga.



"Hih.. Tulisanmu itu salah. Kayak tulisan komputer. Gini yang bener." Ucapnya sambil mencoret-coret bukuku.



"Oh gitu. Oke makasih."



Aku belajar menulis huruf Jepang bukan tanpa alasan. Sebelumnya aku mengambil peminatan Bahasa Inggris. Tapi apa mau dikata, setelah kurikulum di ubah kembali ke KTSP mau tidak mau peminatan di hapuskan. Dan pelajaran bahasa asing yang bisa dipilih hanya dua, yaitu bahasa Jepang dan Jerman. Berhubung saat kelas sepuluh aku pernah belajar bahasa Jepang, kelas sebelas ini aku kembali memilih mempelajarinya. Dan karena aku sempat ketinggalan beberapa materi, mau tidak mau aku harus mengejarnya.



 Aku bersusah payah mencoba meniru bentuk tulisannya. Bukuku sudah penuh dengan huruf Jepang sekarang. Padahal yang sedang kucoret-coret adalah buku paket Bahasa Jawa. Aku bersyukur karena Pak Guru tidak pernah mencoba untuk melihat buku paket milik muridnya. Karena beliau pasti akan syok. Dan aku yakin seratus persen tidak hanya aku yang mengalih fungsikan buku Bahasa Jawa menjadi buku seni rupa. Karena contoh nyatanya ada di sebelahku. Dia sedang sibuk menggambar sekarang. Entah apa yang sedang digambarnya, hanya Tuhan dan dirinya sendirilah yang tau.



"Ini bener nggak?"



"Hmm, lumayanlah ada peningkatan." Ucapnya setelah lama menimbang-nimbang harus berkata apa.



Yes! yang penting meningkat.



"Mbak Nurul"



Aku masih sibuk dengan duniaku saat dengan tiba-tiba Tina menyikut lenganku.



"Ih apa sih? Kecoret kan jadinya." Ucapku kesal.



"Kamu dipanggil pak guru tu."



Sontak aku langsung menutup buku paketku dan menoleh ke depan.



"Kulo pak."



"Ya, silahkan dibaca lanjutannya."



mampus, aku nggak ndengerin.


---


"Sholat dhuha yuk."



"Ayok."



Mungkin ini salah satu alasanku bisa bertahan dengannya. Kita seperjuangan. Jarang-jarang aku bertemu dengan teman yang mau di ajak Sholat dhuha daripada makan di kantin. Kita berjalan beriringan, atau lebih tepatnya aku di depan dan dia di belakangku. Bukan maksud apa-apa, memang jalanku sering kecepetan. Dia bahkan sering mengeluhkannya. Aku pernah mencoba untuk memelankan caraku berjalan, tapi ujung-ujungnya aku tetap meninggalkannya di belakang. Sepertinya aku harus menggandengnya lain kali. Ya, sepertinya itu ide yang bagus.



Selesai sholat dhuha kami tidak langsung kembali ke kelas. Kami memiliki kebiasaan tersendiri untuk di lakukan saat masjid sedang dalam keadaan sepi. Aku dan dia akan berguling-guling di masjid dan menganggap masjid ini milik sendiri. Bagiku ini adalah olahraga pelepas penat terbaik sepanjang masa. Berguling-guling di tempat yang sejuk sambil melihat awan. Ya, awan. Karena masjidku dibangun dua lantai, lantai pertama untuk jamaah laki-laki dan lantai dua untuk jamaah perempuan. So, aku berasa memiliki dunia sendiri saat berada disini, karena tidak akan ada laki-laki yang bisa melihatku. 



I Feel Free



Lama memandangi langit, kualihkan padanganku ke arahnya. Dia juga sedang tiduran. Keadaannya tak jauh mengenaskan sepertiku. Aku tertawa, lucu. Keadaan ini sangat lucu. Aku masih ingat betul bagaimana cara kami beradu pendapat, sikapnya yang pemarah, kadang juga kekanakan. Tapi aku tetap merasa nyaman berada di dekatnya. Setidaknya dia jujur kepadaku. Semua ekspresinya benar-benar jujur, tidak menipu. Kalau marah ya marah. Senang ya senang. Aku menyukainya. Dan alasan lain yang membuatku menyukainya adalah dia masih bertahan disini untuk berteman denganku. Dia mau menerimaku bukan hanya karna kelebihanku tapi juga kekuranganku. Dia dengan senang hati mengungkapkan unek-uneknya padaku dan membiarkanku tau apa yang sebenarnya ia pikirkan.



Aku mulai menyadari satu hal. Aku memang memiliki banyak teman, tapi aku butuh teman yang mau menegur kesalahanku. Teman yang mau berbagi suka duka walaupun lebih banyak dukanya. Seorang teman yang mau berjuang bersamaku menjadi lebih baik. Dan sepertinya aku sudah menemukannya sekarang. 


Tidak perlu banyak-banyak. Kalau satu saja sudah bisa membuatku lebih dekat kepada Allah, maka aku sudah sangat bersyukur bisa berteman dengannya




bersambung




2 komentar