Bintang Paling Terang ~2




Selasa, 24 Februari 2013


“Lin, hari ini kita mau kemana?”tanya Andi dari seberang telfon.


“Hmm, ke cafe deket rumah Laras aja gimana? Jemput aku dulu dong. Nanti 
kita kesananya barengan dari rumahku.  Oke ??” jawabku enteng saja.


“Oke deh. Laras langsung disana kan?” tanyanya lagi.


“Iyalah. Masak iya Laras suruh kesini dulu.” Jawabku setengah menggodanya.


“Oke lahh.” Ucapnya pasrah.


Selang beberapa waktu Andi tiba di rumahku. Seperti biasa ia menungguku di teras rumah. Aku bergegas untuk menemuinya. Namun setelah turun melewati tangga, tiba-tiba langkahku terhenti. Jantungku tiba-tiba saja berdegup dengan kencang. Hatiku terasa berdebar-debar. Bahkan pipiku tiba-tiba terasa panas tanpa sebab. Entah apa yang salah pada diriku, aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Aku melihat wajah tersenyum Andi yang sedang duduk di kursi sembari memegang kameranya. Sepertinya apa yang ia lihat benar-benar hal yang menakjubkan. Aku bahkan tak pernah melihat wajah Andi yang tersenyum begitu tulusnya. Raut wajahnya begitu membahagiakan. Rambutnya yang hitam sedikit berantakan tertiup angin. Hari ini ia mengenakan kaos berwarna abu-abu bertuliskan “Fotografi is My Life” dan celana jeans berwarna hitam. Cara berpakaian yang simple juga termasuk ciri khasnya. Namun seperti biasa ia tetap terlihat tampan.


“Lin, udah siap?” tanya Andi mengagetkanku. Mulai kuatur kembali perasaanku yang tak karuan. Lalu kutepis pikiran-pikiran aneh yang baru saja muncul dikepalaku.


“E-eh, iya udah.” Jawabku sebisa mungkin terdengar normal.


“Yaudah yuk langsung aja.” Sahutnya sembari tersenyum membuatku terlihat semakin gugup.


Sesampainya di cafe aku dan Andi sudah disambut oleh senyum kecut dari Laras. Ternyata ia sudah menunggu cukup lama dan mulai merasa bosan karena hanya duduk sendirian selama menunggu kedatanganku dan Andi. Seperti biasa ia mulai mengomel tidak jelas. Benar-benar menyebalkan mendengarnya. Omelannya bahkan lebih membosankan dibanding dengan omelan yang sering dilontarkan oleh ibuku.


“Kalian lama banget sih! Nunggu sendirian nggak enak tau. Daritadi pelayan mondar-mandir nanya mau pesen apa. Aku Cuma bisa jawab, tunggu bentar ya mbak. Temen-temen saya belum pada nyampe. Freakbanget kan? Malu tau!” celoteh Laras tanpa jeda.


“Haha, sabar-sabar. Yang penting kan sekarang udah nyampe. Ya nggak Lin?” ucap Andi enteng.


“Tau ah. Aku ke toilet dulu ya. Kalian pesen duluan aja.” Jawabku sembari beranjak dari tempat duduk.


Kepalaku tiba-tiba saja terasa pusing. Entah kenapa, perasaanku menjadi tidak enak. Aku hanya berpikir untuk membasuh wajahku sebentar di toilet. Setelah membasuh wajah, kepalaku terasa sedikit lebih ringan dan segar. Lalu aku kembali ke tempat teman-temanku menunggu. Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat mereka berdua sedang tertawa bersama. Begitu melegakan melihat mereka berdua tersenyum. Tapi perasaan tak enakku masih belum hilang. Akhirnya aku mencoba untuk menghapusnya dan mulai membaur bersama mereka berdua.


“Lin, lama banget sih? Ketiduran di toilet ya?” goda Andi.


“Iya kali, liat aja mukanya kayak orang baru bangun tidur.” Tambah Laras yang membuatku merasa ingin memukulnya.


“Kalian ni nggak ngerti orang lagi pusing apa? Udah pulang aja yuk. Kayaknya aku lagi nggak enak badan deh.” Pintaku pada mereka berdua.


“Loh Lin? Perasaan tadi waktu berangkat kamu nggak kenapa-kenapa deh.” Ucap Andi yang mulai terlihat khawatir.


“Aku juga nggak tau Di. Tiba-tiba aja kepalaku jadi pusing.” Jawabku pasrah.


“Yaudah kita pulang sekarang ya. Kamu kuat jalan kan?” tanyanya begitu perhatian. Sejujurnya aku merasa begitu bahagia diperhatikan olehnya. Tapi yang kupikirkan sekarang adalah aku ingin sampai di rumah dengan segera.


“Kuat kok Di. Oh iya, Sorry ya Ras udah bikin kamu nunggu tapi sekarang malah balik duluan.”


“Nggak papa kok Lin. Kapan-kapan kita makan bareng lagi kan bisa.” Jawab Laras sembari tersenyum.


“Oke, bye.”


Hari ini cafe begitu ramai dengan pengunjung. Alhasil parkiran menjadi penuh dalam sekejap. Andi terpaksa memarkir mobilnya di seberang jalan. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju tempat mobil Andi diparkirkan. Andi sempat memaksaku untuk membiarkannya memapahku. Tapi aku menolak tawarannya karena tidak ingin lebih merepotkannya. Kepalaku semakin bertambah pusing. Aku tidak menyadari apa yang terjadi namun untuk sesaat aku seperti mendengar suara teriakan seseorang.


“LINA AWASS!!” teriak Andi yang sontak mengagetkanku. 

Sebuah mobil melintas dengan cepat melewati kami berdua. Tidak, mobil itu hanya melewatiku. Aku merasakan sakit di sekitar lututku.Ternyata benar dugaanku, lututku berdarah. Andi benar-benar mendorongku tadi. “Sial, aku akan mengomeli dia habis-habisan nanti.” ucapku dalam hati. Lalu kualihkan pandanganku ke sekeliling. Kupaksakan diriku untuk menyadari apa yang terjadi. Aku melihat Andi sudah tergeletak di seberang jalan dengan bersimpah darah dikelilingi oleh banyak orang. Sebagian dari mereka berteriak “AMBULAN! CEPAT HUBUNGI AMBULAN!”. Rasanya tidak hanya kakiku yang lemas, tapi sekujur tubuhku juga melemas. Aku bahkan tidak sanggup memanggil namanya. Tenggorokanku seperti tercekat oleh sesuatu. Satu-satunya yang dapat keluar hanyalah air mataku.Aku pun menangis sejadi-jadinya setelah menyadari apa yang terjadi sebenarnya.


~


Suara ambulan sudah tidak terdengar lagi. Karena begitu terkejutnya, aku bahkan tidak menyadari bahwa ambulan itu sudah pergi membawa Andi bersamanya. Aku merasa begitu bodoh karena tidak ikut menemani Andi di dalam ambulan. Akhirnya aku meminta salah seorang pengunjung cafe yang tidak sengaja melihat kejadian tersebut untuk dengan sukarela mengantarkanku ke rumah sakit dimana Andi dibawa.


Andi berada di UGD sekarang. Lukanya begitu parah. Dokter bilang tulang rusuknya ada yang patah sehingga ia diharuskan untuk melakukan operasi. Aku begitu panik hingga tak mampu berpikir. Lalu dokter tersebut menyuruhku untuk menghubungi orang tua Andi.


Selang beberapa waktu orang tua Andi pun tiba. Aku langsung dibanjiri berbagai macam pertanyaan yang bahkan tak mampu kujawab. Melihat reaksiku orang tua Andi hanya bisa diam dan meninggalkanku yang masih berlinang air mata. Lalu orang tua Andi menemui dokter yang menangani Andi dan menyetujui dilakukannya operasi. Setelah ada persetujuan dari orang tuanya, Andi langsung dibawa ke ruang operasi. Orang tua Andi kembali mendatangiku dalam keadaan yang lebih tenang walaupun aku dapat melihat raut wajah kesedihan yang tampak pada diri mereka.


“Lin, pulang dulu sana. Sudah sore. Nanti orang tuamu khawatir lagi.” Ucap Ibu Andi sembari tersenyum menenangkan.


“Tapi tante, saya mau nungguin Andi aja disini.” Jawabku yang masih gelisah.


“Lina, sebaiknya kamu pulang dulu saja. Kasihan orang tuamu khawatir. Nanti jika sudah ada kabar, om pasti kabarin kamu.” Ucap Ayah Andi menambahkan.


“Hmm, yasudah saya pamit pulang dulu ya om, tante.” Ucapku kepada kedua orang tua Andi.


“Iya, hati-hati di jalan ya”


“iya, terimakasih”

~


Kuhempaskan diriku ke tempat tidur. Aku benar-benar merasa tidak tenang. Sudah lebih dari 3 jam sejak aku kembali dari rumah sakit. Masih belum ada kabar tentang Andi. Pikiranku pun kembali melayang pada peristiwa kecelakaan tadi. Aku masih tidak percaya, bahwa Andi sedang berada di rumah sakit sekarang. Tiba-tiba ponselku berdering. Ibu Andi menelfonku. Aku langsung mengangkatnya dengan cepat.


“Halo tante, gimana kondisi Andi sekarang?” tanyaku tanpa ba-bi-bu dulu sebelumnya.


“Syukur Lin. Sudah tidak papa sekarang.” Jawab ibu Andi dari seberang.


“Huftt, lega tante dengernya. Berarti besok aku udah bisa jenguk Andi kan?” tanyaku lagi padanya.


“Bisa Lin.. Bi-sa..” suara Ibu Andi sedikit tertahan saat mengucapkan kata terakhirnya.


“Tante nggak papa? Kok kayak mau nangis gitu sih?” tanyaku tanpa menaruh curiga.


“Nggak papa kok Lin. Tante tutup dulu ya telfonnya.” Jawab Ibu Andi yang sikapnya mulai terasa aneh bagiku.


“Oh iya tante. Makasih” balasku dibarengi dengan bunyi “TUT.. TUT.. TUT..” yang artinya sambungan telfon telah terputus.

Baru saja kuletakkan ponselku di atas  lemari belajar namun tiba-tiba satu panggilan masuk dari Laras mengagetkanku.


“Halo ras, ada apa?” tanyaku padanya.


“Lin, barusan aku dikabarin sama orang tuanya Andi kalo Andi udah nggak ada.” terdengar suara tangisan Laras dari seberang.


“Haha, bercanda kali kamu. Orang barusan aku dikabarin kalo Andi udah nggak papa kok.” Jawabku dengan tawa yang dipaksakan karena rasa takut akan fakta yang menujukkan bahwa Andi memang telah tiada.


“Lin, coba kamu hubungi Ibunya Andi lagi deh. Kayaknya dia cuma nggak mau kamu sedih.”


“Hmm, oke ras” ucapku ragu. Aku bahkan tidak membutuhkan klarifikasi tentang kondisinya sekarang. Aku hanya mengharapkan satu hal. Aku ingin dia tetap hidup. Dan bisa berada disisiku lagi.


Dengan berat hati, kutekan tombol yang menghubungkanku dengan nomer telfon milik ibu Andi. Setelah tersambung, tidak ada satu pun diantara kami yang memulai pembicaraan terlebih dulu. Hanya keheningan yang menyertai kami. Lalu aku pun berusaha mengumpulkan keberanian untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu.


“Hmm, tante.. Andi .. Apa Andi beneran meninggal?” tanyaku seperti orang bodoh sembari meneteskan air mata karena tak kuasa menahan kepedihan mendengar kata-kata yang kulontarkan dengan sendirinya.


“Maafin tante Lin. Tante udah bohong sama kamu. Iya, operasi Andi gagal...”



Kalimat yang diucapkan oleh Ibu Andi belum selesai akan tetapi ponsel yang kupegang sudah lebih dulu jatuh ke lantai. Aku tidak ingin mendengar lanjutannya. Tidak, lebih tepatnya aku tidak bisa. Baru hari ini aku menyadari ada ketertarikan lain saat aku memandangnya. Baru hari ini juga aku menyadari bahwa dia benar-benar berarti bagi hidupku. Dan sekarang aku harus menerima fakta bahwa orang itu sudah tiada. Tidak akan pernah bisa kulihat lagi di dunia.




bersambung




0 komentar